Banjir Jakarta, Sejarah, dan Kontroversinya
Sejalan dengan sejarah kehidupan
manusia, sungai-sungai adalah nadi kehidupan manusia pada zamannya
hingga kini, seperti sungai Eufrat, Tigris, Nil, Rhein. Demikian juga
sungai Ciliwung, satu dari 13 sungai yang mengalir melalui Jakarta, yang
konon terbentuk 6 juta tahun y.l. adalah sungai yang dulu mengalir
bebas, tak berlumpur dan tenang bahkan diceritakan oleh Jean Baptiste
Tavernier seorang pionir dagang Perancis, sebagai sungai dengan air
paling bersih dan paling baik di dunia.
Namun kemudian, air di Jakarta menoreh sejarah gelap. Menurut [1] dalam buku sejarah Susan Blackburn, Jakarta : a History,
air di Jakarta memiliki reputasi sebagai pembunuh utama. Diawali dengan
pemindahan ibukota kolonial Belanda pada akhir abad ke-18, para
sejarawan menyimpulkan bahwa krisis airlah salah satu penyebab utamanya.
Kepindahan itu merupakan puncak dari keluhan dan protes keras karena
pasokan air bersih bermasalah di Batavia sejak 1720. Dan ketika Jenderal
Diederik Durven (1729-1732) memerintahkan penggalian mookervart
(saluran) untuk meningkatkan pasokan air bersih ke Batavia, bukan air
bersih yang datang tapi penyakit malaria yang hadir. Niat mendapatkan
air bersih berujung korban nyawa ribuan penduduk Batavia.
Demikian juga 200 tahunan kemudian, pada
tahun 1930 MH Thamrin berteriak-teriak karena masyarakat bawah harus
membayar mahal air bersih. Dan sekarang tahun 2012, sayangnya kondisi
Jakarta tidak jauh berbeda, bahkan mungkin makin sulit, karena tidak
hanya kesulitan pasokan air bersih tapi juga diiringi masalah banjir
yang tak berkesudahan. Kontroversi Ciliwung sebagai nadi kehidupan dan
sekaligus salah satu hal yang memperparah banjir Jakarta, membuat
kelimpungan para pemimpin DKI Jakarta sejak zaman kolonial hingga
Jokowi.
Banjir Jakarta memiliki sejarah panjang.
Tercatat bahkan tahun 1878, 134 tahun y.l. pun di Jakarta yang ketika
itu masih bernama Batavia sudah terjadi banjir dikarenakan hujan selama
40 hari tidak berhenti-henti. Hampir setiap tahun di Batavia terjadi
banjir, dalam [2] mencatat Januari-Februari 1918 di Kampung tanah
tinggi, Kampung Lima, Kemayoran Belakang terjadi banjir karena selokan
terlalu kecil dan meluapnya Sungai Ciliwung, kemudian tahun 1919, 1923,
Desember 1931, Januari 1932, Maret 1933 banjir kembali berulang.
Dikatakan di sana karena sering berulang inilah maka warga Batavia telah
menganggap banjir sebagai hal yang wajar. Yang menarik dicatat di sini
adalah antara 1892-1918 daerah kota lama jarang banjir, hal ini
menunjukkan drainase kota di kota lama Batavia lebih baik
Demikian juga setelah kemerdekaan,
Januari 1952, 1953, November 1954, 1956, banjir kembali melanda Jakarta
sampai ada karikatur untuk banjir berulang ini. Tahun 1950-1960 tercatat
banjir terjadi di daerah Sungai Ciliwung hilir. Tercatat pada bulan
Februari 1960 Jakarta mengalami banjir besar, paling parah terjadi di
daerah Grogol. Selama ini banjir hanya ditangani oleh masyarakat, baru
tahun 1963 masalah banjir ditangani oleh tim khusus bentukan pemerintah.
Periode tahun 1960-1970 daerah banjir
semakin meluas dan penduduk yang tinggal di bantaran sungai semakin
banyak. Ditengarai antara tahun 1970-1980 siklus banjir semakin pendek,
artinya banjir semakin sering terjadi. 1976 di zaman gubernur Ali
Sadikin, terjadi banjir hebat, wakil gubernur A Wiriadinata sampai
bermalam di pintu air Manggarai, walikota Jakarta Pusat saat itu
melaporkan hampir 8 hektar wilayahnya terendam banjir.
Sejarah Usaha Pengendalian Banjir Jakarta Hingga Kini
Menurut [6] usaha-usaha mengatasi banjir
sebetulnya juga sudah dipikirkan pula oleh pemerintah kolonial Belanda.
Pada tahun 1920 Prof H. van Breen dari BOW (cikal bakal Kementrian
Pekerjaan Umum) merilis gagasan untuk membangun dua saluran kolektor
yang mengepung kota guna menampung limpahan air, yang selanjutnya akan
dialirkan ke laut. Saluran pertama menyusuri tepian Barat kota, yang
kedua melalui tepian Timur kota. Karena tepian Barat lebih dekat dengan
pusat Kota Batavia maka saluran di tepian Barat dulu yang dibangun
dengan nama Kanal kali Malang pada tahun 1922.
Kanal Kali Malang ini kemudian dikenal
Kanal Banjir Barat (KBB) antara Manggarai-Muara Angke sepanjang 17,4 km.
Rencananya Kanal Banjir Barat ini akan diperluas tapi karena sulitnya
membebaskan tanah, perluasan Kanal Banjir Barat tertunda sebagai
gantinya dibuatlah jaringan pengendali banjir lainnya, yakni jaringan
kanal dan drainase yang dinamakan Sistem Drainase Cengkareng. Kanal
Banjir Barat hanya mampu menampung sampai 370 meter kubik per detik.
Antara tahun 1983-1985 telah dibangun pemerintah Cengkareng Drain,
Cakung Drain, Sudetan kali sekretaris.
Sedangkan saluran tepian ke Timur tidak sempat terbangun karena Perang Dunia ke-2. Baru dengan bantuan Netherlands Engineering Consultants, tersusunlah “Master Plan for Drainage and Flood Control of Jakarta”
pada Desember 1973. Rancangan ini didetailkan lagi lewat desain Nippon
Koei pada 1997. Penggalian untuk Kanal Banjir Timurnya sendiri baru
dimulai pada tahun 2003. Panjang Kanal Banjir Timur ini 23,6 km dengan
daya tampung limpahan air 390 m kubik per detik. Selain itu, BKT juga
dilengkapi dengan sistem kolam sedimen berukuran 300 x 350 meter di
kawasan Ujung Menteng. Sistem kolam ini berguna untuk menangkap sedimen
agar badan kanal tetap leluasa.
Kesimpulan
Selanjutnya, apakah Kanal Banjir Barat
dan Timur beserta drainasenya mampu mengendalikan banjir Jakarta ?? Saya
kira banjir Jakarta akan sulit ditangani bila melihat kondisi:
1. Hampir 40% wilayah di Jakarta berada
di bawah permukaan laut. Tanpa tanggul seperti di Belanda atau tidak
ditimbunnya daerah-daerah yang rendah ini, tentu saja sesuai hukum alam,
daerah ini akan selalu kebanjiran. Bahkan dengan selesainya Kanal
Banjir Barat dan Timur yang katakanlah berhasil mengalirkan air limpahan
hujan ke laut, wilayah Jakarta di bawah permukaan laut ini bila tidak
ditangguli dan tidak ditinggikan tetap akan terendam.
2. Masyarakat masih belum sadar tentang
pentingnya membuang sampah pada tempatnya dan tidak adanya manajemen
sampah dari pemda yang komprehensif maka akan sulit membayangkan semua
saluran air bebas sampah dan kotoran.
3. Penyempitan badan aliran sungai yang
berjumlah 13 ini. Antara tahun 1960-1970 bantaran sungai Ciliwung mulai
ramai dihuni. Selama pemda DKI mengalami kesulitan untuk merelokasi
penduduk bantaran Sungai Ciliwung yang sudah puluhan tahun menghuni
daerah ini, penyempitan badan sungai akan sulit dielakkan.
4. Rehabilitasi dan perawatan rutin
drainase kota dan sungai dari endapan lumpur dan sampah. Seperti
kota-kota maju, selalu ada anggaran rutin untuk perawatan, namun bila
usaha ini hanya dilakukan bila masalah timbul ya … repot.
5. Banjir kiriman terjadi juga saat
pemerintah kolonial Belanda mengganti perkembunan karet menjadi
perkebunan teh di Puncak. Demikian sensitif dan tergantungnya kondisi
Jakarta dari perubahan kondisi tempat-tempat di atasnya. Untuk itu tanpa
kesadaran para pemda Bodetabek untuk mengetatkan pembangunan daerah
resapan dan untuk membuat waduk-waduk penampungan air hujan. Jakarta
akan tetap kewalahan dengan banjir.
6. Pembangunan-pembangunan rumah dan
gedung yang tidak mengindahkan KDB Koefisien Dasar Bangunan, air
limpasan hujannya hanya akan memperberat beban kota. Mudahnya membangun
di daerah-daerah hijau ditambah kurangnya ruang terbuka hijau di
Jakarta, maka semakin sulitlah air hujan yang turun atau meluap dari
sungai untuk cepat meresap kembali.
Pemda DKI Jakarta telah membuat Pergub
Nomor 38 tahun 2012 tentang bangunan gedung hijau dan akan mulai efektif
berlaku di Ibu Kota terhitung mulai 23 April 2013. Sayangnya syarat
bangunan hijau untuk mendapatkan IMB baru untuk gedung-gedung tertentu,
belum untuk semua gedung dan perumaha, saya cukup optimis bila
persyaratan ini diperluas dan diperketat maka kelangkaan air bersih dan
sekaligus pengendalian banjir dapat dikurangi.
7. Kompleksitas tata kota Jakarta sangat
erat hubungannya dengan kekumuhan, kemiskinan, urbanisasi. Masalah
sosial dan budaya yang demikian kompleks membuat usaha-usaha menjadi
kontra produktif, seperti contoh perluasan Kanal Banjir Barat yang
terpaksa dihentikan karena kesulitan pembebasan tanah, demikian juga
sulitnya relokasi penduduk bantaran sungai Ciliwung.
8. Selain itu, yang membuat saya ragu
adalah muncul pula 2 kontroversi Kanal Banjir Barat dan Timur ini,
karena pembangunan didasarkan kondisi tahun 1918, di mana van Breen
memperhitungkan pertumbuhan kota ke Timur. Padahal pada prakteknya
pertumbuhan kota ke Selatan. Dan perhitungan ancaman banjir yang ada
tidak disertai dengan perhitungan curah hujan rencana sebagai data
pijakan mengenai kemungkinan frekuensi dan persentase banjir dalam
kurun tertentu yang akuntabel, dengan demikian klaim-klaim pengurangan
banjir itu dengan sendirinya menjadi bias.
Wallahu a’lam … semoga saja Jakarta suatu saat bebas banjir. (ACJP)